Pada jaman kerajaan Majapahit,
agama menjiwai segenap lapangan kehidupan termasuk bidang kebudayaan.
Semua cabang kebudayaan seperti seni bangunan, seni pahat, seni sastera
dan seni panggung, semuanya bernafaskan keagamaan. Namun pada jaman Majapahit tidak menghasilkan bangunan-bangunan keagamaan semegah kelompok Candi Borobudur dan Prambanan sebagaimana yang dibangun pada masa kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah.
Kelompok Candi Borobudur, Pawon dan Mendut
adalah bangunan ke-Budhaan yang dibangun pada jaman pemerintahaan
dinasti Syailendra pada permulaan abad sembilan. Pada waktu itu baik
raja maupun rakyatnya memeluk agama Budha. Pembangunan kelompok candi
tersebut dimaksudkan demi pengagungan agama semata-mata. Setelah dinasti
Syailendra jatuh pada pertengahan abad sembilan, Mataram diperintah
oleh dinasti baru yang memeluk agama Siwa, dimulai oleh Rakai Pikatan,
munculnya Rakai Pikatan membawa kehidupan kembali agama Siwa di Jawa
Tengah. Semangat keagamaan ini menggugah semangat membangun kelompok
Candi Prambanan pada permulaan abad kesepuluh untuk mengimbangi kelompok
Candi Borobudur. Baik Candi Borobudur maupun Candi Prambanan adalah
merupakan bangunan keagamaan yang mengagumkan, pembangunan monumen
semegah itu hanya dimungkinkan terutama berkat dorongan semangat
keagamaan yang menyala-nyala.
Tidak demikian halnya dengan bangunan-bangunan candi di Jawa Timur pada jaman Singasari-Majapahit,
bangunan candi-candi yang ada adalah candi makam keluarga raja,
jumlahnya banyak tetapi wujudnya kecil-kecil jika dibandingkan dengan
kelompok Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Pembangunan candi-candi
di Jawa Timur dimaksudkan sebagai tempat pemujaan para leluhur yakni
arwah keluarga raja yang telah mangkat; digunakan untuk menyimpan abu
jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja di situ.
Pada tahun 1365 M, menurut Negarakertagama
LXXIII, LXXIV jumlah candi-candi makam raja tersebut ada duapuluh
tujuh buah, mulai Kagenengan, Tumapel, Kidal, Jajaghu, Wedwawedan,
Pikatan, Bakul, Jawajawa, Antang Trawulan, Kalangbret, Jago, Blitar,
Silapetak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang, Puger, Kamal Pandak,
Segal, Simping, Sri Ranggapura, Budi Kuncir dan Prajnyaparamitapuri di
Bayalangu.
Meskipun bentuknya candi Siwa atau Budha, namun pada hakekatnya adalah merupakan candi-makam,
karena pada jaman Singasari-Majapahit telah terjadi pembauran antara
kepercayaan asli yang berupa pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan
asing berupa agama Siwa dan Budha. Candi-candi tersebut dibangun dengan
biaya kerajaan dan atas kemauan raja yang berkuasa demi keagungan
keluarga raja yang telah mangkat. Pada hakekatnya bangunan-bangunan
candi ini adalah milik kerajaan semata-mata, rakyat jelata walaupun
memeluk agama Siwa atau Budha tidak memiliki kepentingan apa-apa
terhadap candi-candi tersebut. Lagi pula sejak berdirinya kerajaan
Singasari pada tahun 1222 M sampai dengan meninggalnya Prabhu Jayanegara
pada tahun 1328 M, Jawa Timur terus menerus dilanda
pemberontakan-pemberontakan. Kekeruhan suasana yang demikian mengganggu
keamanan sekaligus menghambat kemakmuran. Baru mulai tahun 1329 saat
pemerintahan Tribhuwanottunggadewi keadaan tanah jawa mulai tenang
kembali, terutama berkat usaha Patih Gajah Mada.
Pada waktu itu perhatian mulai
di arahkan kepada usaha perluasan wilayah, karena Patih Gajah Mada pada
prakteknya memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan bernafsu untuk
menundukkan daerah-daerah seberang lautan yang disebut Nusantara. Gajah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit lewat bidang politik dengan jalan memperluas wilayah Majapahit.
Keagungan kerajaan Majapahit terletak pada usahanya untuk menghimpun dan
mempersatukan daerah-daerah di Nusantara di bawah panji-panji Majapahit.
Gajah Mada lebih mengutamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada
keagungan agama. Inilah salah satu faktor yang membedakan keagungan
Mataram Hindu dan keagungan Majapahit.
Posting Komentar